HUKUM NABI PALSU
I. PENDAHULUAN
dalam
Al-Quran dan As-Sunnah sudah banyak menjelaskan tentang kedudukan Nabi Muhammad
sebagai Nabi atau utusan Allah yang terakhir. Dalam kitab-kitab Allah yang
diturunkan sebelum Al-Quran seperti Injil, Taurat, dan Zabur pun telah
menyebutkan bahwa akan datang Nabi atau utusan Allah yang terakhir dan sebagai
penutup bagi para Nabi, tidak ada Nabi yang datang setelahnya.
Realita
yang kita lihat mulai dari zaman Nabi maupun sampai sekarang banyak mereka yang
mengaku sebagai Nabi atau utusan Allah. Yang seperti itu jelas sekali sudah
menyimpang dari ajaran yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa hal yang
berkaitan dengan Nabi palsu maupun hukumnya.
II. RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Pengertian Nabi atau Rasul
?
B.
Apa
Arti Iman Kepada Para Nabi ?
C.
Bagaimana
Fatwa MUI tentang Nabi Palsu dan Kemunculannya ?
D.
Bagaimana
Dalil tentang Nabi Terakhir dan Hukum Nabi Palsu ?
E.
Bagaimana
Sikap Nabi Muhammad SAW. terhadap Nabi Palsu?
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nabi atau
Rasul
Rasul
adalah manusia dari diri umat. Jika manusia dari tambang, maka Allah
memperuntukan kepadanya pemberian rasio dan rohani agar dia siap menerima wahyu
dari Allah. Allah SWT. memperuntukan Rasul dengan memperoleh beberapa
keistimewaan agar dia mampu memikul beban risalah dan menjadi teladan baik yang
harus diikuti, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Seandainya
para utusan Allah tidak memperoleh beberapa keistimewaan rasio dan rohani
seperti kesucian mereka telah ternoda atau rasio mereka lemah, tentu mereka
tidak mampu menyampaikan petunjuk Allah kepada manusia.
Rasulullah
mengalami dan merasakan apa yang dialami orang biasa seperti sehat dan sakit,
kuat dan lemah, senang dan bencana, hidup dan mati. Hanya saja sesuatu yang
diturunkan itu tidak menimpanya karena mengakibatkan orang lain lari. Allah
berfirman : “Ingatlah ketika Ayyub memanggil Tuhannya : ‘Sesungguhnya diriku
telah tertimpa bencana. Engkau lebih pengasih dari semua yang pengasih.’
Setelah itu permintaannya kami kabulkan dan Kami hilangkan bencana yang
menimpanya. Kami datangkan kepada Ayyub keluarganya dan sesame mereka
bersama-sama sebagai rahmat di sisi Kami dan peringatan bagi orang-orang yang
beribadah” (QS. 21 : 83-84). “Muhammad itu tidak lain hanya seorang Rasul.
Beberapa Rasul sebelumnya telah mendahuluinya. Jika Rasul itu mati atau
terbunuh, apakah kalian kembali menjadi kafir ? Barang siapa yang kembali
menjadi kafir, dia tidak akan mendatangkan bahaya kepada Allah sedikitpun” (QS.
3 : 144).
Rasul
yang manapun tidak bisa bertindak sendiri di ala mini dan tidak mempunyai
pertolongan dan bahaya. Dia tidak bisa mempengaruhi kehendak Allah dan tidak
mengetahui yang gaib kecuali dengan qadar (ketentuan) yang dikehendaki Allah.
Allah berfirman : “Katakan : Saya tidakberhak mendapat pertolongan untuk diriku
dan saya tidak pula berhak menolak bahaya kecuali jika Allah menghendaki. Seandainya
saya mengetahui yang gaib, tentu saya berbuat kebaikan dan kejahatan tidak akan
menimpaku. Saya tidak lain hanya pemberi kabar takut dan kabar yang gembira
bagi kaum yang beriman” (QS. 7 : 188). “Allah mengetahui yang gaib. Oleh
karenanya, Dia tidak akan menampakan kegaiban-Nya kepada seseorang kecuali
kepada Rasul yang diridhoi. Sesungguhnya Allah memasukan beberapa penjaga
(Malaikat) di depan dan di belakang Rasul agar dia mengetahui bahwa para Rasul
itu telah menyampaikan risalah Tuhannya. Dia meliputi apa-apa yang ada di
sisi-Nya dan menghitung bilangan segala sesuatu” (QS. 72 : 26-28).[1]
Dengan
demikian kita dapat tahu bahwa antara Nabi dan Rasul mempunyai pengertian yang
sedikit berbeda. Nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah SWT.
tetapi tidak berkewajiban untuk disampaikan kepada umatnya. Sedangkan Rasul
adalah seorang laki-laki yang diberi
wahyu oleh Allah dan berkewajiban menyampaikan wahyunya kepada umatnya. Tapi
dalam perkembangannya kedua istilah tersebut biasa digunakan untuk arti dan
maksud yang sama, Nabi sama dengan Rasul.
B.
Arti
Iman kepada Para Nabi
Iman
kepada para Rasul merupakan salah satu pokok keimanan. Arti iman kepada mereka
adalah tashdiq (pembenaran) terhadap
kenabian semua Nabi yang diceritakan oleh Allah kepada kita beritanya dan
pembenaran terhadap mereka dalam apa-apa yang mereka sampaikan dari Allah.
Selain itu juga membenarkan bahwa mereka benar-benar telah menyampaikan apa-apa
yang telah diperintahkan kepada mereka untuk disampaikan dan hujjah Allah telah
ditegakkan terhadap hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-rasul tersebut
kepada mereka.
Diantara
bentuk iman kepada mereka ialah iman kepada (utusan) yang tidak disampaikan
oleh Allah kepada kita namanya. Maka kita beriman kepada mereka secara global, bahwasannya
Allah telah mengutus pula beberapa Rasul lain di luar mereka, yakni yang telah
disebut nama-namanya kepada kita.[2]
Allah SWT. berfirman:
ôs)s9ur $uZù=yör& Wxßâ `ÏiB y7Î=ö7s% Oßg÷YÏB `¨B $oYóÁ|Ás% y7øn=tã Nßg÷YÏBur `¨B öN©9 óÈÝÁø)tR øn=tã 3 $tBur tb%x. @AqßtÏ9 br& ÎAù't >pt$t«Î/ wÎ) ÈbøÎ*Î/ «!$# 4 #sÎ*sù uä!$y_ ãøBr& «!$# zÓÅÓè% Èd,ptø:$$Î/ uÅ£yzur Ï9$uZèd cqè=ÏÜö6ßJø9$# ÇÐÑÈ
“Dan
sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, diantara mereka
ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami
ceritakan kepadamu…” (QS. Al-Mu’min: 78)
Firman-Nya:
Wxßâur ôs% öNßg»oYóÁ|Ás% øn=tã `ÏB ã@ö6s% Wxßâur öN©9 öNßgóÁÝÁø)tR øn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
“Dan (Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah
Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu…” (QS.
An-Nisa: 164)
Selanjutnya,
diantara bentuk iman kepada mereka adalah iman kepada semua sifat-sifat yang
diberika Allah tentang mereka dan kepada seluruh pernyataan yang mereka
keluarkan tentang diri mereka sendiri, yakni bahwa mereka hanyalah hamba-hamba
Allah jua; mereka adalah manusia yang dilebihkan oleh Allah dan dipilih-Nya
melalui risalah dan firman-Nya. Meskipun demikian, bukan berarti mereka keluar
dari maqom ‘ubudiyah (kewajiban
beribadah). Sesekali seseorang di antara mereka bertambah usahanya dalam
mewujudkan maqom ‘ubudiyah (kewajiban
beribadah), bertambah pula kedekatan mereka kepada Allah. Maka tidak boleh lagi
setelah itu mempersembahkan jenis ibadah apa pun dan dengan cara apa pun kepada
mereka, bahkan dakwah mereka semua hanya bertujuan supaya beribadah hanya
kepada Allah semata.
Dengan
demikian, secara global iman kepada para Rasul dan para Nabimerupakan salah
satu rukun iman yang tidak menjadi sempurna keimanan seorang hamba, kecuali
dengannya.[3]
Iman
kepada para Rasul mempunyai empat unsur:
1. Mengimani
bahwasannya risalah mereka benar-benar dari Alla SWT. barang siapa mengingkari
risalah mereka, walaupun hanya seorang (dari mereka), maka menurut pendapat
seluruh Ulama ia dikatakan kafir.
Allah SWT. berfirman:
ôMt/¤x. ãPöqs% ?yqçR tûüÎ=yößJø9$# ÇÊÉÎÈ
“Kaum Nuh telah
mendustakan para Rasul.” (QS. ASy-Syu’ara: 105)
2. Mengimani
nama-nama Rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan dalam Al-Quran dan
As-Sunnah yang shahih. Jumlah Nabi dan Rasul banyak sekali. Menurut riwayat
bahwa jumlah Nabi ada 124.000 dan jumlah Rasul ada 315. Adapun yang terkenal
ada 25 Nabi dan Rasul.
3. Membenarkan
berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.
4. Mangamalkan
Syariat Rasul yang diutus kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir yang diutus
Allah kepada seluruh manusia, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT. berfirman:
xsù y7În/uur w cqãYÏB÷sã 4Ó®Lym x8qßJÅj3ysã $yJÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO w (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak berima
hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak nerasa keberatan dalam hati nereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Rasul
yang pertama adalah Nabiyyullah Nuh AS, dan yang terekhir adalah Nabiyyullah
Muhammad SAW.[4]
Allah
SWT. berfirman:
!$¯RÎ) !$uZøym÷rr& y7øs9Î) !$yJx. !$uZøym÷rr& 4n<Î) 8yqçR
z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ 4
!$uZøym÷rr&ur #n<Î) zOÏdºtö/Î) @Ïè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètur ÅÞ$t6óF{$#ur
4Ó|¤Ïãur z>qr&ur }§çRqãur tbrã»ydur z`»uKøn=ßur 4 $oY÷s?#uäur y¼ãr#y #Yqç/y ÇÊÏÌÈ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan Nabi-nabi yang
kemudian…” (QS. An-Nisa:
163)
Dan
diantara hal-hal yang dapat membatalknan ke-Islaman dank e-Imanan seseorang
adalah:
1. Meyakini
ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi SAW., atau meyakini ada
hokum yang lebih baik daripada hukum beliau.
2. Membenci
ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.
3. Meyakini
bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari Syariat Nabi
Muhammad SAW.[5]
Dengan
begitu seseorang benar-benar dituntut untuk beriman dengan sebenarnya dengan
dilandasi unsure-unsur Iman serta tidak malakukan hal-hal yang dapat
membatalkan ke-Islaman maupun ke-Imanan. Yang semuanya itu justru akan membuat
apa yang kita yakini menjadi sia-sia dan tidak diterima.
C.
Fatwa
MUI tentang Nabi Palsu dan Kemunculannya (google)
Fatwa MUI tentang sesatnya aliran Al-Qiyadah disambut
positif oleh mayoritas umat Islam Indonesia yang menghendaki kejelasan hukum
atas kehadiran kelompok ini. Akan tetapi seperti biasa, kelompok liberal tidak
akan rela dengan munculnya fatwa itu. Salah satu diantara mereka adalah penulis
“Sesatnya Kriteria Sesat”, Mohamad Guntur Romli. (Jawapos,
14/11). Intinya, ia tidak setuju dengan kriteria sesat yang telah ditetapkan
MUI, karena ia berpendapat bahwa penyesatan hanya milik Allah.
Ia juga berpendapat bahwa para ulama tidak memiliki
wewenang untuk menghukumi seseorang kafir atau tidak. Pendapat ini perlu dalil shorih
yang menjelaskan bahwa ulama memang tidak boleh mengkafirkan seseorang yang
sudah jelas-jelas tidak mengakui seluruh atau sebagian syari’at, atau
mengingkari risalah Rasulullah atau mengingkari hal-hal yang mutawatir atau
mengingkari bahwa Rasulullah adalah utusan terakhir. Dan tidak cukup sampai di
situ, si penulis juga harus bisa menunjukkan dalil sharih yang menyatakan bahwa
orang yang sudah melakukan pengingkaran sampai tahap itu masih bisa dianggap
Muslim.
Tentu yang ada hanyalah dalil bolehnya ulama mengkafirkan
mereka yang sudah jelas kafir. Yaitu dalil-dalil yang memerintahkan agar umat
Islam berpegang teguh dengan nash Al Quran dan Sunnah. Dan Al Quran dan Sunnah telah menjelaskan
kriteria mukmin dan kafir, yang berfungsi untuk membedakan siapa yang masih
disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir. Hingga tidak salah jika ulama
menghukumi seseorang sebagai kafir, dengan mengambil pedoman dari Al Quruan dan
Sunnah, bahkan wajib demi menjaga agama ini.
Nabi Palsu dalam Pendangan Fuqaha
Masalah munculnya nabi-nabi palsu telah direspon
serius oleh para ulama sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini
menyangkut masalah yang amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini
disebabkan dalil qath’i baik dari Al Quran, Sunnah, serta ijma telah
menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, dan tidak
ada syari’at yang harus diikuti kecuali syari’at yang telah beliau bawa.
Atas dasar nash-nash itulah
para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka
yang mengikutinya. Al Muthi’i dalam Syarh Al Muhadzab (20/371), salah
satu kitab pokok dalam madzhab Syafi’i menyebutkan, “Begitu juga (telah
murtad) orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad saw. serta orang yang
mengikutinya”.
Ia juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat,
jika ada seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku
membenarkannya”, maka, menurut Al Muthi’i, ia telah murtad. Al Muthi’i juga
merujuk perkataan Imam Syafi’i yang menyatakan,”Ada beberapa orang yang
murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para
pengikut mereka”.
Ulama dari kalangan madzhab Hambali
pun memiliki pendapat yang serupa, Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2181),
rujukan pokok madzhab Hambali, menyatakan,”Barang siapa mengaku-ngaku sebagai
nabi atau membenarkan seruannya, maka ia telah murtad!”.[6]
NABI PALSU SEBELUM ZAMAN ISLAM:
1. Zoroaster (Persia, 660-583 SM),
kitab suci: Avesta. Mati terbunuh dalam perang melawan Bactria (Balkh).
2. Marcion (Roma, ± 144 M), pembentuk
gereja Marcionite dan pemahaman Marcionisme .
3. Mani (Persia, ± 242 M), pendiri
agama Manichaeisme (al-Maniwiyah). Mati dibunuh, dikuliti, dan kulitnya diisi
jerami dan digantung oleh Bahram.
4. Daishan, pendiri aliran Daishaniyah
yaitu suatu aliran ber-tuhan dua di Persia dari agama Majusi.
5. Mazdak (Persia, 487-523 M), pendiri
aliran Mazdakiyah (Serba Boleh dan Semua Halal), kitab suci: Zanda. Mati
dibunuh.
NABI PALSU DI ZAMAN JAHILIYAH:
1. Amru bin Luhayyi, (dari Kabilah
Khuza’ah), orang yang pertama kali merubah agama Nabi Ibrahim dan Ismail
menjadi kemusyrikan dan penyembahan berhala.
NABI PALSU DI MASA RASULULLAH
SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM:
1. Al-Aswad al-Ansi (11 H/632 M) atau
Abhalah bin Ka’ab bin Auf al-Ansi al-Madzhiji seorang dukun dari Yaman. Mati dibunuh oleh
Fairuz, kerabat istri al-Aswad.
2. Musailamah al-Kadzdzab (usia 150
tahun, mati tahun 12 H/633 M). Memiliki pasukan 40.000 orang. Mati dibunuh oleh
Wahsyi dengan tombaknya pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.[7]
NABI PALSU SETELAH MASA RASULULLAH
SHALA-LAHU ALAIHI WASALLAM:
1. Sajah binti Al-Harits bin Suwaid bin
Aqfan at-Tamimiyah dari Bani Yarbu (mati tahun 55 H/675 M). Seorang dukun
wanita yang mengaku Nabi di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq dan kemudian dinikahi
oleh Musailamah al-Kadzdzab. Sete-lah Musailamah terbunuh, Sajah melarikan diri
ke Irak kemudian masuk Islam dan mati dalam keadaan Islam.
2. Thulaihah al-Asadi (mati tahun 21
H/642 M). Masuk Islam tahun 9 H, kemudian murtad dan mengaku Nabi di Nejd pada
masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Setelah Abu Bakar ash-Shiddiq wafat, Thulaihah
bertaubat (masuk Islam) kemu-dian mati syahid dalam penaklukkan Persia.
3. Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah
bin Ja’far bin Abi Thalib. Sempalan Syiah yang meyakini reinkarnasi
(kembali-nya ruh orang yang sudah mati) dari satu orang ke orang lain. Dia
mengaku Tuhan dan Nabi sekaligus.
4. Al-Mukhtar bin Abi Ubaid (Thaif,
622-687 M/67 H), pe-nganut Syiah yang mengaku Nabi dan mendapat wahyu. Dia
adalah saudara iparnya Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Mati dibunuh oleh
Mush’ab bin Az-Zubair di Harura.
5. Mirza Ali Mohammad (abad 19).
Pendiri agama Babisme dan penganut Syiah, dihukum mati oleh pemerin-tah Iran
tahun 1843.
6. Mirza Husein Ali. Pendiri agama
Bahaisme (pengganti Babisme) dan penganut Syiah. Mengaku Nabi tahun 1862 dan
mati tahun 1892, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abbas Efendy yang berpusat
di Chicago.
7. Mirza Ghulam Ahmad (India
1835-1908). Pendiri agama Ahmadiyah. Kitab suci: Tadzkirah. Mati terkena wabah
penyakit kolera.
8. Rashad Khalifa (Mesir, 1935-1990),
penganut Tasawuf dan perintis Ingkarus Sunnah. Mati dibunuh oleh pengikutnya
dengan disembelih dan ditusuk-tusuk dengan pisau dapur.
9. Asy-Syaikhah Manal Wahid Manna,
wanita tersebut mulai melontarkan kesesatan sejak tahun 1995. Dan dipenjara
oleh pemerintahan Mesir.
10. Tsurayya Manqus, seorang wanita
peneliti, cendekiawan dalam bidang sejarah dari Yaman.
11. Muhammad Bakri, asal Yaman dan
dibunuh oleh pengikut-nya, kemudian disalib di atas papan kayu.
12. Muhammad Abdur Razak Abul ‘Ala, asal
Sudan. Bekerja sebagai tukang jahit di Kairo.
13. Dan masih ada beberapa Dajjal yang
mengaku Nabi dari berbagai negara lainnya seperti di Sudan, Saudi Arabia,
Mesir, Libanon dan lainnya.
NABI-NABI PALSU DI INDONESIA:
1. Ahmad
Musaddeq atau H. Abdul Salam (Lahir Jakarta, 1942), mengaku menjadi Nabi
tanggal 23 Juli 2006. Pemim-pin Al-Qiyadah Al-Islamiyah di rezim Presiden
Susilo Bam-bang Yudhoyono. Kitab suci: Al-Qur’an dengan pemahaman sendiri.
Mengaku bertaubat tanggal 9 November 2007.
2. Lia
Aminuddin, pendiri agama Salamullah. Mengaku men-dapat wahyu dari malaikat
Jibril dan mengklaim dirinya Nabi dan Rasul serta Imam Mahdi. Divonis hukuman 3
tahun penjara oleh Mahkamah Agung.
3. Ahmad
Mukti, putra dari Lia Aminuddin yang dianggap sebagai Nabi Isa.[8]
Begitu banyak orang-orang
yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Yang kesemuanya itu sungguh sangat
bertentangan dengan apa yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
D.
Dalil
tentang Nabi Terakhir dan Hukum Nabi Palsu
Penetapan bahwa Rasulullah adalah Rasul
sekaligus Nabi terakhir oleh para ulama berdasarkan surat Al Ahzab, ayat 40: ”Bukanlah
Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah
Rasulullah dan khatam (penutup) nabi-nabi”. Imam Al Qurthubi dalam Al
Jami’ Al Ahkam-nya (7/496), mengatakan bahwa jama’ah salaf dan khalaf
menyatakan, ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada nabi setelah Rasulullah. Para
mufasirin dan fuqaha seperti Imam Syafi’i dalam Al Umm, Ibnu Katsir,
Imam As Syaukani dalam Fathu Al Qadir beserta ahli tafsir kontemporer seperti
Al Maraghi, As Shabuni serta Muhammad Abduh dalam Al Manar menyatakan
hal yang sama.
Beberapa hadits pun memiliki makna
bahwa Rasulullah saw. adalah rasul terakhir, salah satunya adalah hadits: “Sesungguhnya
saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana
Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia
berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya” (HR.
Muslim)
Karena amat banyak jalan
periwayatannya, maka Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (6/452) menyatakan
bahwa hadits ini mencapai derajat mutawatir. Pernyataan ini diamini oleh mufti
Pakistan Muhammad Syafi’.
Sebagaimana disebutkan juga oleh
Ibnu Katsir, bahwa hadits-hadist mutawatir itu disamping menunjukkan bahwa
tidak ada rasul setelah Muhammad saw. ia juga menginformasikan bahwa, jika ada
seseorang yang mengaku-ngaku nabi maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah
pembohong besar, sesat dan menyesatkan, walau ia bisa menunjukkan hal-hal yang
aneh atau memiliki ilmu sihir. Informasi ini adalah salah satu bentuk kecintaan
Allah kepada hambanya (hingga mereka tidak tersesat).
Selain Al Quran dan Sunnah, ijma’ juga menyatakan bahwa
Rasulullah adalah nabi terakhir. Ini disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al
Maratib Al Ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’
fi Masa’il Al Ijma (1/33).
Kekufuran Para Pengingkar Syari’at
yang Mutawatir
Tentu yang namanya nabi palsu pasti
menyeru kepada hal-hal yang mungkar dan bathil, sebagaimana fakta yang terjadi
di lapangan, mereka mengajak penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran
Rasulullah saw, seperti shalat, zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah
disepakati kewajibannya dalam Islam. Atau menghalalkan apa yang diharamkan
Allah serta mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu
tidak sebatas maksiat biasa, karena hal itu pun sudah masuk kepada wilayah
kekufuran. Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2172) mengatakan,”Bagitu juga
(dihukumi murtad, bagi mereka yang mengingkari) dasar-dasar Islam seperti
zakat, puasa, haji, karena dalil yang menunjukkan fardhunya amalan-amalan itu
hampir tidak bisa dihitung dan ijma’ pun menyatakan hal yang serupa”.
Ibnu Hazm menyebutkan dalam Maratib
Al Ijma’,sesuai dengan nukilan Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi
Masa’il Al Ijma (1/126): “Umat bersepakat, barang siapa beriman kepada
Allah dan Rasulnya, serta hal-hal yang dibawanya yang dinukil secara mutawatir
darinya dan tidak ragu dalam masalah tauhid atau kenabian beliau serta
tiap-tiap huruf dari hal-hal yang beliau bawa yang dinukil secara mutawatir.
Dan barang siapa menolak sesuatu dari hal-hal yang telah kami sebutkan atau
ragu atasnya dan mati kadalam keadaan itu, maka ia telah kafir dan kekal di
neraka”.
Kesimpulannya, bahwa ijma’ telah
menyatakan bahwa hal-hal yang dinukil secara mutawatir dalam Islam seperti
kewajiban shalat, zakat, haji, termasuk khabar yang menyatakan bahwa Rasulullah
adalah nabi terakhir atau yang lain, wajib diimani. Dan barang siapa yang
menolak maka ia telah kafir.
Berpedoman dari dalil-dalil di atas
maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam fatwa MUI, karena pendapat
lembaga ini sesuai dengan nash Al Quran, Sunnah dan Ijma. Kalau sudah masuk
ranah ijma’ maka tidak mungkin terjadi kesalahan atau kesesatan karena
Rasulullah sendiri bersabda:” Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat
dalam kesesatan”. Hadist ini mencapai derajat mutawatir dari segi makna
menurut Al Fahru Ar Razi dalam Al Mahshul (1/35), juga Al Khatib Al
Baghdadi dalam Faqih wa Al Mutafaqqih (2/167).
Banyak
dalil-dalil baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah yang secara tegas menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi dan Rasul. Dengan kata lain Nabi
Muhammad adalah Nabi yang terakhir dan tidak aka nada lagi Nabi atau Rasul yang
dating setelah beliau. Di antaranya adalah firman Allah:
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJÎ=tã ÇÍÉÈ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.
Al-Ahzab: 40)
Nabi Muhammad SAW.
menyebutkan akan adanya dajjal
(pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi SAW. bersabda:“…Dan
sesungguhnya akan muncul pada ummatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang,
mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan
tidak ada Nabi sepeninggalku.”[9]
Dengan demikian sudah jelas bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi
terakhir dan penutup para Nabi. Tidak ada Nabi yang datang setelahnya. Orang
yang mengaku sebagai Nabi, maka sungguh ia telah murtad dari ajaran Islam yang
dibawa Nabi SAW.
E.
Sikap
Nabi Muhammad SAW. terhadap Nabi Palsu
TEMPO Interaktif, Pada tahun kesepuluh Hijriah,
Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya
Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang
menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam
suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad,
utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya
menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan ahli
tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir
Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para
Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah
sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa
bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang
menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang
kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Menerima surat dari Musailamah
yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari
Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja
kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak
tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi,
jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke
Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad,
utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik
Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul
menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah
memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.
Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain.
Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman
disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas
Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari
mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah
dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin
Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan
yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di
Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan
pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong
kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal
sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”[10]
Tampaknya, “perang melawan
kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan
terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk
perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga
Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim
sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan
beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang
membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela
Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena
mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan
secara paksa dari Islam.
Ironisnya, Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui
anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama
baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan
kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini,
perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak
dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis
ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip
kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu
demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi
demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan
keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan
saja semua itu terjadi.[11]
Lepas dari itu, kalau kita
tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang
melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak
berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan
kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan
dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi
saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi
palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya
menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya
pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena,
berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan
Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu
tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya,
menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan
muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin
Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan
kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis
ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok
pemberontak.
Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi
khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia
sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah
membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang
sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga
Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan
keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan
seperti para pemberontak?
Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum
Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang
mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang
diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi
esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat)
yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar
manusia.
Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa
mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling
mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya
dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam
Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif
Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas
menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah
sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.[12]
Kalau Nabi saja demikian
sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama
yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri
mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat
dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di
sinilah saya kami umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau
mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap
Rasulullah.
IV. KESIMPULAN
Sebagaimana telah dikemukakan di atas
bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi yang datang
setelahnya, serta menjadi penutup dari semua Nabi dan utusan. Tetapi sejak
zaman Nabi sendiri hingga sampai sekarang pun banyak orang yang yang mengaku
dirinya sebagai Nabi. Diantaranya seperti yang telah disebutkan di atas.
Orang-orang yang mengaku
dirinya sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad SAW., maka sungguh dia sudah keluar
dari ajaran yang sudah dinyatakan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Akan tetapi,
Nabi Muhammad SAW. dalam menyikapi adanya Nabi palsu tidaklah secara lagsung
dengan memaksanya untuk keluar dari Islam. Itu terbukti ketika beliau menyikapi
Musailamah yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Kenyataan yang sekarang kita
lihat, seperti kejadian yang lalu yaitu pemberontakan terhadap jama’ah
Ahmadiyah yang dilakukan oleh beberapa pihak yang tidak setuju atau menolak
Ahmadiyah. Mereka sungguh melekukan hal yang tidak sesuai dengan hak asasi
manusia, padahal pada dasarnya jama’ah Ahmadiyah hanya menginginkan ruang gerak
untuk bisa meleksanakan ibadahnya. Di sisi lain, jama’ah Ahmadiyah tidak
memberontak pemerintahan Indonesia. Dengan melihat hal-hal tersebut, semestinya
jama’ah Ahmadiyah tidak sepatutnya diperlakukan kasar seperti itu.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat
penulis paparkan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan maupun subtansinya
masih banyak kekeliruan dan kesalahan yang perlu dibenahi dan diperbaiki. Oleh
karena itu kritik yang membangun senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah yang singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
[1]
Sayid Sabiq, Akidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas,
1996),hal. 175-177
[2]
Muhammad bin
A.W. al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’I, (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’I, 2009), Penerjemah: Nabhani Idris, cet. 5., hlm. 484
[4]Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
(Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009), cet. 7., hlm. 237
[5]
Syeh Muhammad bin Abdul
Wahhab, Penjelas tentang Pembatal
ke-Islaman, (Solo: Darul Muslim, 1996), hlm. 59
[6]
Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,(Jakarta: Maktabah Salman, 2008), hlm. 8
[8] Hartono Ahmad Jaiz, 2008, hlm. 10
[10]
Ahmad Sahal,
artikel “Sikap Nabi terhadap Nabi Palsu”, 2011
[11]
Ahmad Sahal,
artikel “Sikap Nabi terhadap Nabi Palsu”, 2011
[12]
Ahmad Sahal,
artikel “Sikap Nabi terhadap Nabi Palsu”, 2011
0 komentar:
Posting Komentar