Translate

Selasa, 22 Oktober 2013

Makalah Hukum Nabi Palsu

HUKUM NABI PALSU
       I.   PENDAHULUAN
dalam Al-Quran dan As-Sunnah sudah banyak menjelaskan tentang kedudukan Nabi Muhammad sebagai Nabi atau utusan Allah yang terakhir. Dalam kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelum Al-Quran seperti Injil, Taurat, dan Zabur pun telah menyebutkan bahwa akan datang Nabi atau utusan Allah yang terakhir dan sebagai penutup bagi para Nabi, tidak ada Nabi yang datang setelahnya.
Realita yang kita lihat mulai dari zaman Nabi maupun sampai sekarang banyak mereka yang mengaku sebagai Nabi atau utusan Allah. Yang seperti itu jelas sekali sudah menyimpang dari ajaran yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan Nabi palsu maupun hukumnya.

    II.   RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Nabi atau Rasul ?
B.     Apa Arti Iman Kepada Para Nabi ?
C.    Bagaimana Fatwa MUI tentang Nabi Palsu dan Kemunculannya ?
D.    Bagaimana Dalil tentang Nabi Terakhir dan Hukum Nabi Palsu ?
E.     Bagaimana Sikap Nabi Muhammad SAW. terhadap Nabi Palsu?

 III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nabi atau Rasul
Rasul adalah manusia dari diri umat. Jika manusia dari tambang, maka Allah memperuntukan kepadanya pemberian rasio dan rohani agar dia siap menerima wahyu dari Allah. Allah SWT. memperuntukan Rasul dengan memperoleh beberapa keistimewaan agar dia mampu memikul beban risalah dan menjadi teladan baik yang harus diikuti, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Seandainya para utusan Allah tidak memperoleh beberapa keistimewaan rasio dan rohani seperti kesucian mereka telah ternoda atau rasio mereka lemah, tentu mereka tidak mampu menyampaikan petunjuk Allah kepada manusia.
Rasulullah mengalami dan merasakan apa yang dialami orang biasa seperti sehat dan sakit, kuat dan lemah, senang dan bencana, hidup dan mati. Hanya saja sesuatu yang diturunkan itu tidak menimpanya karena mengakibatkan orang lain lari. Allah berfirman : “Ingatlah ketika Ayyub memanggil Tuhannya : ‘Sesungguhnya diriku telah tertimpa bencana. Engkau lebih pengasih dari semua yang pengasih.’ Setelah itu permintaannya kami kabulkan dan Kami hilangkan bencana yang menimpanya. Kami datangkan kepada Ayyub keluarganya dan sesame mereka bersama-sama sebagai rahmat di sisi Kami dan peringatan bagi orang-orang yang beribadah” (QS. 21 : 83-84). “Muhammad itu tidak lain hanya seorang Rasul. Beberapa Rasul sebelumnya telah mendahuluinya. Jika Rasul itu mati atau terbunuh, apakah kalian kembali menjadi kafir ? Barang siapa yang kembali menjadi kafir, dia tidak akan mendatangkan bahaya kepada Allah sedikitpun” (QS. 3 : 144).
Rasul yang manapun tidak bisa bertindak sendiri di ala mini dan tidak mempunyai pertolongan dan bahaya. Dia tidak bisa mempengaruhi kehendak Allah dan tidak mengetahui yang gaib kecuali dengan qadar (ketentuan) yang dikehendaki Allah. Allah berfirman : “Katakan : Saya tidakberhak mendapat pertolongan untuk diriku dan saya tidak pula berhak menolak bahaya kecuali jika Allah menghendaki. Seandainya saya mengetahui yang gaib, tentu saya berbuat kebaikan dan kejahatan tidak akan menimpaku. Saya tidak lain hanya pemberi kabar takut dan kabar yang gembira bagi kaum yang beriman” (QS. 7 : 188). “Allah mengetahui yang gaib. Oleh karenanya, Dia tidak akan menampakan kegaiban-Nya kepada seseorang kecuali kepada Rasul yang diridhoi. Sesungguhnya Allah memasukan beberapa penjaga (Malaikat) di depan dan di belakang Rasul agar dia mengetahui bahwa para Rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhannya. Dia meliputi apa-apa yang ada di sisi-Nya dan menghitung bilangan segala sesuatu” (QS. 72 : 26-28).[1]
Dengan demikian kita dapat tahu bahwa antara Nabi dan Rasul mempunyai pengertian yang sedikit berbeda. Nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah SWT. tetapi tidak berkewajiban untuk disampaikan kepada umatnya. Sedangkan Rasul adalah  seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah dan berkewajiban menyampaikan wahyunya kepada umatnya. Tapi dalam perkembangannya kedua istilah tersebut biasa digunakan untuk arti dan maksud yang sama, Nabi sama dengan Rasul.

B.     Arti Iman kepada Para Nabi
Iman kepada para Rasul merupakan salah satu pokok keimanan. Arti iman kepada mereka adalah tashdiq (pembenaran) terhadap kenabian semua Nabi yang diceritakan oleh Allah kepada kita beritanya dan pembenaran terhadap mereka dalam apa-apa yang mereka sampaikan dari Allah. Selain itu juga membenarkan bahwa mereka benar-benar telah menyampaikan apa-apa yang telah diperintahkan kepada mereka untuk disampaikan dan hujjah Allah telah ditegakkan terhadap hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-rasul tersebut kepada mereka.
Diantara bentuk iman kepada mereka ialah iman kepada (utusan) yang tidak disampaikan oleh Allah kepada kita namanya. Maka kita beriman kepada mereka secara global, bahwasannya Allah telah mengutus pula beberapa Rasul lain di luar mereka, yakni yang telah disebut nama-namanya kepada kita.[2] Allah SWT. berfirman:
ôs)s9ur $uZù=yör& Wxßâ `ÏiB y7Î=ö7s% Oßg÷YÏB `¨B $oYóÁ|Ás% y7øn=tã Nßg÷YÏBur `¨B öN©9 óÈÝÁø)tR šøn=tã 3 $tBur tb%x. @AqßtÏ9 br& šÎAù'tƒ >ptƒ$t«Î/ žwÎ) ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 4 #sŒÎ*sù uä!$y_ ãøBr& «!$# zÓÅÓè% Èd,ptø:$$Î/ uŽÅ£yzur šÏ9$uZèd šcqè=ÏÜö6ßJø9$# ÇÐÑÈ
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” (QS. Al-Mu’min: 78)
Firman-Nya:
Wxßâur ôs% öNßg»oYóÁ|Ás% šøn=tã `ÏB ã@ö6s% Wxßâur öN©9 öNßgóÁÝÁø)tR šøn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
“Dan (Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu…” (QS. An-Nisa: 164)

Selanjutnya, diantara bentuk iman kepada mereka adalah iman kepada semua sifat-sifat yang diberika Allah tentang mereka dan kepada seluruh pernyataan yang mereka keluarkan tentang diri mereka sendiri, yakni bahwa mereka hanyalah hamba-hamba Allah jua; mereka adalah manusia yang dilebihkan oleh Allah dan dipilih-Nya melalui risalah dan firman-Nya. Meskipun demikian, bukan berarti mereka keluar dari maqom ‘ubudiyah (kewajiban beribadah). Sesekali seseorang di antara mereka bertambah usahanya dalam mewujudkan maqom ‘ubudiyah (kewajiban beribadah), bertambah pula kedekatan mereka kepada Allah. Maka tidak boleh lagi setelah itu mempersembahkan jenis ibadah apa pun dan dengan cara apa pun kepada mereka, bahkan dakwah mereka semua hanya bertujuan supaya beribadah hanya kepada Allah semata.
Dengan demikian, secara global iman kepada para Rasul dan para Nabimerupakan salah satu rukun iman yang tidak menjadi sempurna keimanan seorang hamba, kecuali dengannya.[3]
Iman kepada para Rasul mempunyai empat unsur:
1.      Mengimani bahwasannya risalah mereka benar-benar dari Alla SWT. barang siapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang (dari mereka), maka menurut pendapat seluruh Ulama ia dikatakan kafir.
Allah SWT. berfirman:
ôMt/¤x. ãPöqs% ?yqçR tûüÎ=yößJø9$# ÇÊÉÎÈ
“Kaum Nuh telah mendustakan para Rasul.” (QS. ASy-Syu’ara: 105)

2.      Mengimani nama-nama Rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih. Jumlah Nabi dan Rasul banyak sekali. Menurut riwayat bahwa jumlah Nabi ada 124.000 dan jumlah Rasul ada 315. Adapun yang terkenal ada 25 Nabi dan Rasul.
3.      Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.
4.      Mangamalkan Syariat Rasul yang diutus kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir yang diutus Allah kepada seluruh manusia, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT. berfirman:
Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak berima hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak nerasa keberatan dalam hati nereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)

Rasul yang pertama adalah Nabiyyullah Nuh AS, dan yang terekhir adalah Nabiyyullah Muhammad SAW.[4]
Allah SWT. berfirman:
 !$¯RÎ) !$uZøym÷rr& y7øs9Î) !$yJx. !$uZøym÷rr& 4n<Î) 8yqçR z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ 4 !$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) zOŠÏdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur ÅÞ$t6óF{$#ur 4Ó|¤ŠÏãur z>qƒr&ur }§çRqãƒur tbr㍻ydur z`»uKøn=ßur 4 $oY÷s?#uäur yŠ¼ãr#yŠ #Yqç/y ÇÊÏÌÈ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan Nabi-nabi yang kemudian…” (QS. An-Nisa: 163)

Dan diantara hal-hal yang dapat membatalknan ke-Islaman dank e-Imanan seseorang adalah:
1.      Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi SAW., atau meyakini ada hokum yang lebih baik daripada hukum beliau.
2.      Membenci ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.
3.      Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari Syariat Nabi Muhammad SAW.[5]
Dengan begitu seseorang benar-benar dituntut untuk beriman dengan sebenarnya dengan dilandasi unsure-unsur Iman serta tidak malakukan hal-hal yang dapat membatalkan ke-Islaman maupun ke-Imanan. Yang semuanya itu justru akan membuat apa yang kita yakini menjadi sia-sia dan tidak diterima.

C.    Fatwa MUI tentang Nabi Palsu dan Kemunculannya (google)
Fatwa MUI tentang sesatnya aliran Al-Qiyadah disambut positif oleh mayoritas umat Islam Indonesia yang menghendaki kejelasan hukum atas kehadiran kelompok ini. Akan tetapi seperti biasa, kelompok liberal tidak akan rela dengan munculnya fatwa itu. Salah satu diantara mereka adalah penulis “Sesatnya Kriteria Sesat”, Mohamad Guntur Romli. (Jawapos, 14/11). Intinya, ia tidak setuju dengan kriteria sesat yang telah ditetapkan MUI, karena ia berpendapat bahwa penyesatan hanya milik Allah.
Ia juga berpendapat bahwa para ulama tidak memiliki wewenang untuk menghukumi seseorang kafir atau tidak. Pendapat ini perlu dalil shorih yang menjelaskan bahwa ulama memang tidak boleh mengkafirkan seseorang yang sudah jelas-jelas tidak mengakui seluruh atau sebagian syari’at, atau mengingkari risalah Rasulullah atau mengingkari hal-hal yang mutawatir atau mengingkari bahwa Rasulullah adalah utusan terakhir. Dan tidak cukup sampai di situ, si penulis juga harus bisa menunjukkan dalil sharih yang menyatakan bahwa orang yang sudah melakukan pengingkaran sampai tahap itu masih bisa dianggap Muslim.
Tentu yang ada hanyalah dalil bolehnya ulama mengkafirkan mereka yang sudah jelas kafir. Yaitu dalil-dalil yang memerintahkan agar umat Islam berpegang teguh dengan nash Al Quran dan Sunnah. Dan Al Quran dan Sunnah telah menjelaskan kriteria mukmin dan kafir, yang berfungsi untuk membedakan siapa yang masih disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir. Hingga tidak salah jika ulama menghukumi seseorang sebagai kafir, dengan mengambil pedoman dari Al Quruan dan Sunnah, bahkan wajib demi menjaga agama ini.
Nabi Palsu dalam Pendangan Fuqaha
Masalah munculnya nabi-nabi palsu telah direspon serius oleh para ulama sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini disebabkan dalil qath’i baik dari Al Quran, Sunnah, serta ijma telah menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, dan tidak ada syari’at yang harus diikuti kecuali syari’at yang telah beliau bawa.
Atas dasar nash-nash itulah para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka yang mengikutinya. Al Muthi’i dalam Syarh Al Muhadzab (20/371), salah satu kitab pokok dalam madzhab Syafi’i menyebutkan, “Begitu juga (telah murtad) orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad saw. serta orang yang mengikutinya”.
Ia juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat, jika ada seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku membenarkannya”, maka, menurut Al Muthi’i, ia telah murtad. Al Muthi’i juga merujuk perkataan Imam Syafi’i yang menyatakan,”Ada beberapa orang yang murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para pengikut mereka”.
Ulama dari kalangan madzhab Hambali pun memiliki pendapat yang serupa, Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2181), rujukan pokok madzhab Hambali, menyatakan,”Barang siapa mengaku-ngaku sebagai nabi atau membenarkan seruannya, maka ia telah murtad!”.[6]

NABI PALSU SEBELUM ZAMAN ISLAM:
1.   Zoroaster (Persia, 660-583 SM), kitab suci: Avesta. Mati terbunuh dalam perang melawan Bactria (Balkh).
2.   Marcion (Roma, ± 144 M), pembentuk gereja Marcionite dan pemahaman Marcionisme .
3.   Mani (Persia, ± 242 M), pendiri agama Manichaeisme (al-Maniwiyah). Mati dibunuh, dikuliti, dan kulitnya diisi jerami dan digantung oleh Bahram.
4.   Daishan, pendiri aliran Daishaniyah yaitu suatu aliran ber-tuhan dua di Persia dari agama Majusi.
5.   Mazdak (Persia, 487-523 M), pendiri aliran Mazdakiyah (Serba Boleh dan Semua Halal), kitab suci: Zanda. Mati dibunuh.
NABI PALSU DI ZAMAN JAHILIYAH:
1.   Amru bin Luhayyi, (dari Kabilah Khuza’ah), orang yang pertama kali merubah agama Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi kemusyrikan dan penyembahan berhala.
NABI PALSU DI MASA RASULULLAH SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM:
1.   Al-Aswad al-Ansi (11 H/632 M) atau Abhalah bin Ka’ab bin Auf al-Ansi al-Madzhiji  seorang dukun dari Yaman. Mati dibunuh oleh Fairuz, kerabat istri al-Aswad.
2.   Musailamah al-Kadzdzab (usia 150 tahun, mati tahun 12 H/633 M). Memiliki pasukan 40.000 orang. Mati dibunuh oleh Wahsyi dengan tombaknya pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.[7]
NABI PALSU SETELAH MASA RASULULLAH SHALA-LAHU ALAIHI WASALLAM:
1.   Sajah binti Al-Harits bin Suwaid bin Aqfan at-Tamimiyah dari Bani Yarbu (mati tahun 55 H/675 M). Seorang dukun wanita yang mengaku Nabi di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq dan kemudian dinikahi oleh Musailamah al-Kadzdzab. Sete-lah Musailamah terbunuh, Sajah melarikan diri ke Irak kemudian masuk Islam dan mati dalam keadaan Islam.
2.   Thulaihah al-Asadi (mati tahun 21 H/642 M). Masuk Islam tahun 9 H, kemudian murtad dan mengaku Nabi di Nejd pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Setelah Abu Bakar ash-Shiddiq wafat, Thulaihah bertaubat (masuk Islam) kemu-dian mati syahid dalam penaklukkan Persia.
3.   Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib. Sempalan Syiah yang meyakini reinkarnasi (kembali-nya ruh orang yang sudah mati) dari satu orang ke orang lain. Dia mengaku Tuhan dan Nabi sekaligus.
4.   Al-Mukhtar bin Abi Ubaid (Thaif, 622-687 M/67 H), pe-nganut Syiah yang mengaku Nabi dan mendapat wahyu. Dia adalah saudara iparnya Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Mati dibunuh oleh Mush’ab bin Az-Zubair di Harura.
5.   Mirza Ali Mohammad (abad 19). Pendiri agama Babisme dan penganut Syiah, dihukum mati oleh pemerin-tah Iran tahun 1843.
6.   Mirza Husein Ali. Pendiri agama Bahaisme (pengganti Babisme) dan penganut Syiah. Mengaku Nabi tahun 1862 dan mati tahun 1892, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abbas Efendy yang berpusat di Chicago.
7.   Mirza Ghulam Ahmad (India 1835-1908). Pendiri agama Ahmadiyah. Kitab suci: Tadzkirah. Mati terkena wabah penyakit kolera.
8.   Rashad Khalifa (Mesir, 1935-1990), penganut Tasawuf dan perintis Ingkarus Sunnah. Mati dibunuh oleh pengikutnya dengan disembelih dan ditusuk-tusuk dengan pisau dapur.
9.   Asy-Syaikhah Manal Wahid Manna, wanita tersebut mulai melontarkan kesesatan sejak tahun 1995. Dan dipenjara oleh pemerintahan Mesir.
10.  Tsurayya Manqus, seorang wanita peneliti, cendekiawan dalam bidang sejarah dari Yaman.
11.  Muhammad Bakri, asal Yaman dan dibunuh oleh pengikut-nya, kemudian disalib di atas papan kayu.
12.  Muhammad Abdur Razak Abul ‘Ala, asal Sudan. Bekerja sebagai tukang jahit di Kairo.
13.  Dan masih ada beberapa Dajjal yang mengaku Nabi dari berbagai negara lainnya seperti di Sudan, Saudi Arabia, Mesir, Libanon dan lainnya.
NABI-NABI PALSU DI INDONESIA:
1. Ahmad Musaddeq atau H. Abdul Salam (Lahir Jakarta, 1942), mengaku menjadi Nabi tanggal 23 Juli 2006. Pemim-pin Al-Qiyadah Al-Islamiyah di rezim Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono. Kitab suci: Al-Qur’an dengan pemahaman sendiri. Mengaku bertaubat tanggal 9 November 2007.
2. Lia Aminuddin, pendiri agama Salamullah. Mengaku men-dapat wahyu dari malaikat Jibril dan mengklaim dirinya Nabi dan Rasul serta Imam Mahdi. Divonis hukuman 3 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.
3. Ahmad Mukti, putra dari Lia Aminuddin yang dianggap sebagai Nabi Isa.[8]
Begitu banyak orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Yang kesemuanya itu sungguh sangat bertentangan dengan apa yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.

D.    Dalil tentang Nabi Terakhir dan Hukum Nabi Palsu
Penetapan bahwa Rasulullah adalah Rasul sekaligus Nabi terakhir oleh para ulama berdasarkan surat Al Ahzab, ayat 40: ”Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan khatam (penutup) nabi-nabi”. Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Al Ahkam-nya (7/496), mengatakan bahwa jama’ah salaf dan khalaf menyatakan, ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada nabi setelah Rasulullah. Para mufasirin dan fuqaha seperti Imam Syafi’i dalam Al Umm, Ibnu Katsir, Imam As Syaukani dalam Fathu Al Qadir beserta ahli tafsir kontemporer seperti Al Maraghi, As Shabuni serta Muhammad Abduh dalam Al Manar menyatakan hal yang sama.
Beberapa hadits pun memiliki makna bahwa Rasulullah saw. adalah rasul terakhir, salah satunya adalah hadits: “Sesungguhnya saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya” (HR. Muslim)
Karena amat banyak jalan periwayatannya, maka Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (6/452) menyatakan bahwa hadits ini mencapai derajat mutawatir. Pernyataan ini diamini oleh mufti Pakistan Muhammad Syafi’.
Sebagaimana disebutkan juga oleh Ibnu Katsir, bahwa hadits-hadist mutawatir itu disamping menunjukkan bahwa tidak ada rasul setelah Muhammad saw. ia juga menginformasikan bahwa, jika ada seseorang yang mengaku-ngaku nabi maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah pembohong besar, sesat dan menyesatkan, walau ia bisa menunjukkan hal-hal yang aneh atau memiliki ilmu sihir. Informasi ini adalah salah satu bentuk kecintaan Allah kepada hambanya (hingga mereka tidak tersesat).
Selain Al Quran dan Sunnah, ijma’ juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir. Ini disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Maratib Al Ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/33).
Kekufuran Para Pengingkar Syari’at yang Mutawatir
Tentu yang namanya nabi palsu pasti menyeru kepada hal-hal yang mungkar dan bathil, sebagaimana fakta yang terjadi di lapangan, mereka mengajak penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran Rasulullah saw, seperti shalat, zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah disepakati kewajibannya dalam Islam. Atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu tidak sebatas maksiat biasa, karena hal itu pun sudah masuk kepada wilayah kekufuran. Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2172) mengatakan,”Bagitu juga (dihukumi murtad, bagi mereka yang mengingkari) dasar-dasar Islam seperti zakat, puasa, haji, karena dalil yang menunjukkan fardhunya amalan-amalan itu hampir tidak bisa dihitung dan ijma’ pun menyatakan hal yang serupa”.
Ibnu Hazm menyebutkan dalam Maratib Al Ijma’,sesuai dengan nukilan Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/126): “Umat bersepakat, barang siapa beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta hal-hal yang dibawanya yang dinukil secara mutawatir darinya dan tidak ragu dalam masalah tauhid atau kenabian beliau serta tiap-tiap huruf dari hal-hal yang beliau bawa yang dinukil secara mutawatir. Dan barang siapa menolak sesuatu dari hal-hal yang telah kami sebutkan atau ragu atasnya dan mati kadalam keadaan itu, maka ia telah kafir dan kekal di neraka”.
Kesimpulannya, bahwa ijma’ telah menyatakan bahwa hal-hal yang dinukil secara mutawatir dalam Islam seperti kewajiban shalat, zakat, haji, termasuk khabar yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir atau yang lain, wajib diimani. Dan barang siapa yang menolak maka ia telah kafir.
Berpedoman dari dalil-dalil di atas maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam fatwa MUI, karena pendapat lembaga ini sesuai dengan nash Al Quran, Sunnah dan Ijma. Kalau sudah masuk ranah ijma’ maka tidak mungkin terjadi kesalahan atau kesesatan karena Rasulullah sendiri bersabda:” Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan”. Hadist ini mencapai derajat mutawatir dari segi makna menurut Al Fahru Ar Razi dalam Al Mahshul (1/35), juga Al Khatib Al Baghdadi dalam Faqih wa Al Mutafaqqih (2/167).
Banyak dalil-dalil baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah yang secara tegas menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi dan Rasul. Dengan kata lain Nabi Muhammad adalah Nabi yang terakhir dan tidak aka nada lagi Nabi atau Rasul yang dating setelah beliau. Di antaranya adalah firman Allah:
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã ÇÍÉÈ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Nabi Muhammad SAW. menyebutkan akan adanya dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi SAW. bersabda:“…Dan sesungguhnya akan muncul pada ummatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”[9]
Dengan demikian sudah jelas bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir dan penutup para Nabi. Tidak ada Nabi yang datang setelahnya. Orang yang mengaku sebagai Nabi, maka sungguh ia telah murtad dari ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW.

E.     Sikap Nabi Muhammad SAW. terhadap Nabi Palsu
TEMPO Interaktif, Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.
Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”[10]
Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.
Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.[11]
Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.
Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?
Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.
Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.[12]
Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kami umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.

 IV.   KESIMPULAN
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi yang datang setelahnya, serta menjadi penutup dari semua Nabi dan utusan. Tetapi sejak zaman Nabi sendiri hingga sampai sekarang pun banyak orang yang yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Diantaranya seperti yang telah disebutkan di atas.
Orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad SAW., maka sungguh dia sudah keluar dari ajaran yang sudah dinyatakan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW. dalam menyikapi adanya Nabi palsu tidaklah secara lagsung dengan memaksanya untuk keluar dari Islam. Itu terbukti ketika beliau menyikapi Musailamah yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Kenyataan yang sekarang kita lihat, seperti kejadian yang lalu yaitu pemberontakan terhadap jama’ah Ahmadiyah yang dilakukan oleh beberapa pihak yang tidak setuju atau menolak Ahmadiyah. Mereka sungguh melekukan hal yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia, padahal pada dasarnya jama’ah Ahmadiyah hanya menginginkan ruang gerak untuk bisa meleksanakan ibadahnya. Di sisi lain, jama’ah Ahmadiyah tidak memberontak pemerintahan Indonesia. Dengan melihat hal-hal tersebut, semestinya jama’ah Ahmadiyah tidak sepatutnya diperlakukan kasar seperti itu.

    V.   PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan maupun subtansinya masih banyak kekeliruan dan kesalahan yang perlu dibenahi dan diperbaiki. Oleh karena itu kritik yang membangun senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.




[1] Sayid Sabiq, Akidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996),hal. 175-177
[2] Muhammad bin A.W. al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’I, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009), Penerjemah: Nabhani Idris, cet. 5., hlm. 484

[3] Muhammad bin A.W. al-‘Aqil, 2009. hlm. 485-487
[4]Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009), cet. 7., hlm. 237
[5] Syeh Muhammad bin Abdul Wahhab, Penjelas tentang Pembatal ke-Islaman, (Solo: Darul Muslim, 1996), hlm. 59
[6] Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,(Jakarta: Maktabah Salman, 2008), hlm. 8

[7] Hartono Ahmad Jaiz,  2008, hlm. 9

[8] Hartono Ahmad Jaiz,  2008, hlm. 10
[9] Yazid bin Abdul Qadir Jawas,  2009, hlm. 237

[10] Ahmad Sahal, artikel “Sikap Nabi terhadap Nabi Palsu”, 2011
[11] Ahmad Sahal, artikel “Sikap Nabi terhadap Nabi Palsu”, 2011

[12] Ahmad Sahal, artikel “Sikap Nabi terhadap Nabi Palsu”, 2011

0 komentar:

Posting Komentar