Translate

Rabu, 30 Oktober 2013

MAKALAH CABANG-CABANG ILMU HADITS

CABANG-CABANG ILMU HADITS

       I.            PENDAHULUAN

Ilmu hadits telah tumbuh sejak zaman Rosul SAW, sejalan dengan diwurudkannya hadits kepada para sahabatnya. Rosul juga telah menetapkan aturan bagaimana hadits bisa diterima atau disampaikan kepada yang lain dengan cara tertentu. Pada masa sahabat dan masa Tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa karena kewafatan Rosul. Oleh karenanya diperlukan tolok ukur untuk menguji kebenaran suatu hadits.
Diakui bahwa ilmu hadits dirayah merupakan mizan yang harus dipergunakan untuk menghadapi ilmu hadits riwayah. Ilmu hadits dirayah sudah dibahas oleh para ulama akan tetapi masih berserakan di beberapa kitab. Ilmu hadits mulai dibukukan dalam kitab tersendiri sebagai ilmu pada abad ke-3 H. Buku ulum al-Hadits pada perkembangan selanjutnya telah terspesialisasi pembahasannya. Apabila di kelompokkan cabang-cabang tersebut pada pokok-pokok masalah maka dapat dikemukakan pertama pembahasan yang berpangkal sanad dan rawi salah satunya ilmu Rijal al-Hadits, kedua  pembahasan yang berpangkal dari matan salah satunya Ilmu Asbab wurud al-Hadist, ketiga pembahasan yang berpangkal dari sanad dan matan yaitu Ilmu Mukhtalif al-Hadits dan Ilmu Ma’na Al-Hadits.

    II.            PEMBAHASAN
A.   Ilmu Rijal al-Hadits
علم ينحث فيه عن رواةالحديث من الصحابةوالتابعين ومن بعدهم
ilmu yang membahas para perawi hadist, baik dari sahabat, dari tabi’in maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya.”[1]
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rosulullah SAW. Dan dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas atau riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima hadits.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangakan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat, riwayat umum, dan riwayat perawi yang lemah, atau para mudallis. Ada juga yang menerangkan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat-martabaat perkataan.[2]
Ilmu hadits ini melengkapi sanad dan matan dimana orang-orang  sanad itulah yang menjadi perawi-perawi hadits . maka mereka adalah pokok pembicaraan di ilmu rilal al-Hadits. Ilmu rijal al-Hadits di bagi menjadi dua yaitu:[3]
1.      Ilmu tarikhir ruwah
Ilmu yang membicarakan tentang sejarah peerawi-perawi hadits. Yakni:
العلم الذى يعرف برواة الحديث من الناحيةالتى تتعلق بروايتهم للحديث فهويتنابالبيان احوال الرواةويذكرتاريخولادةالراوىووفاته وشيوخه وتاريخ سماعه منهم ومنروىعنه وبلادهم ومواطنهم ورحلاة الراوى وتاريخ قدومه الى البلدان المختلفة وسماعه من بعض الشيوخ قبلل الاختلاط ام بعده وغيرذلك مماله صلة بامور الحديث
ilmu yang mengenalkan pada kita perawi-perawi hadits dari segi mereka meriwayatkan hadist. Maka ilmu ini menerangkan keadaan-keadaan perawi, hari kelahirannnya, kewafatannya, guru-gurunya, masa dia mulai mendengar hadits dan orang-orang yang meriwayatkan dari padanya, negerinya, tempat kediamannya, perlawatan-perlawatannya, sejarah kedatangannya ke tempat-tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan dengan urusan hadits.[4]
Ilmu ini lahir bersamaan dengan lahirnya periwayatan hadits dalam Islam. Para ulama menganggap ilmu ini penting, karena mereka bisa mengetahui keadaan-keadaan perawi tentang umur, tempat kediaman, sejarah perawi belajar, sebagaimana para ulama menanyakan tentang pribadi perawi agar kemustahilannya dan kemunqathi’annya, kemarfu’annya dan kemauqufannya jelas. Karena memang sejarah adalah senjata yang ampuh untuk melawan pendusta. Sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri:
 الكذب استعملنالهم التارخالرواة لمااستعمل
“tatkala para perawi mempergunakan kedustaan, kamipun mempergunakan sejarah”.[5]
2.      Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
Ilmu Jarh wa at-Ta’dil hakikatnya adalah suatu ilmu yang masih termasuk bagian dari ilmu rijal al-Hadits. Karena dipandang ilmu Jarh wa at-Ta’dil ini penting maka dari itu banyak buku yang menjelaskan ilmu ini pada bab tersendiri.
Pengertian Jarh wa at-Ta’dil adalah :
علم ينحث فيه  عن جرح الرواةةوتعديلهم بالفاظ مخصوصة وعن مرانب تلك الالفاظ
ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil par perawi ) dengan memakai kata-kata yang khusus tentang martabat-martabat kata-kata itu.”[6]
Ilmu ini salah satu ilmu yang terpenting dan tinggi nilainya karena dengan ilmu ini dapat  dibedakan antara yang shahih dan yang saqim mengingat timbulnya hukum-hukum yang berbeda-beda dari pada tingkatan Jarah dan Ta’dil ini.[7]
Mencela para perawi yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik agar orang tidak terpedaya dengan riwayatnya telah tumbuh sejak zaman sahabat. Pada masa itu masih sedikit orang yang dicela. Mulai abad ke.2 H barulah banyak orang yang lemah. Pada tahun 150 H para ahli mulai membahas keadaan-keadaan perawi, menta’dil dan mentarji’kan mereka. Setelah itu, barulah para ahli menyusun kitab jarh dan ta’dil yang di dalamnya diterangkan keadaaan para perawi yang  diterima dan ditolak.[8]
Jadi ilmu rijal al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang perawi hadits dari mulai perawi  dilahirkan ke dunia hingga kewafatannya, tentang guru-guru yang pernah mengajarinya dan tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, segala hal yang terkait dengan urusan hadits. Kitabnya antara lain al-Isti’ab karya Ibnu Abdi al-Barr (463 H),  Usd al-Ghabbah kumpulan kitab-kitab karya Izzudin (630 H).
B.     Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Sebagaimana para ulama telah menyusun sebab-sebab nuzul-ul Qur’an, mereka juga menyusun sebab-sebab wurudil hadits (asbabu wurudil Hadits) . Dengan demikian para ulama telah memudahkan para mustambit mengistambitkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Jadi ilmu asbab wurud al-Hadits adalah:
علم يعرف به اسباب ورودالحديث ومناسباته
ilmu yang menerangkan sebab turunnya hadits dan munasabah-munasabahnya.”[9]
Ilmu ini pertama kali dirintis oleh Abu Hamid bin Kaznah al-Jubary yang kemudian diteruskan oleh Abu Hafsh Umar bin Muhammad al-Ukbury (380-458 H). Pada dekade berikutnya muncul kitab tentang Asbab wurud al Hadits yang ditulis oleh Ibn Hanmzah al-Husainy (1054-1120 H) dengan judul al-Bayan wa al-ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif. [10]Dicetak tahun  1329 H.[11]
Contoh Hadits yang ada asbabul wurudnya
Nabi bersabda
احدكم للصلاة فلايبصق امامه فاء نه مناج لله تعالى مادام فى مصله ولا عن يمينه ملكا ولكن ليبصق عن شماله اوتحت رجليهاذاقام
“apabila salah seorang dari kamu berdiri kepada sholat maka janganlah dia meludah kemukanya, karena dia sedang bermunajat dengan Allah, selama dia masih dalam mushollanya dan jangan pula dia meludah ke sebelah kanannya, karena sebelah kanannya ada malaikat tetapi hendaklah dia mmeludah kesebelah kirinya atau kebawah kakinya.” (H.R Al Bukhari dari Abu Huraira)
Pada suatu ketika Nabi melihat dahak di dinding masjid sebelah kiblat, maka Nabi mengikisnya. Kemudian Nabi berpaling menghadapi para hadirin dan menyabdakan hadits ini.[12]
  1.  Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Terkadang kita menemukan hadits-hadits yang saling bertentangan. Kalau sebuah hadits shahih bertentangan dengan hadits dha’if, tentu akan kita menangkan yang shahih. Atau, hadits-hadits yang saling bertentangan. Setelah diperiksa, ternyata salah satunya berasala dari Nabi, yang lain tidak. Maka dengan mudah kita menyingkirkan hadits yang disebut terakhir ini. Sekarang ada hadits yang saling bertentangan, setelah diteliti, ternyata keduanya berasal dari Nabi. Untuk mengatasi pertentangan ini para ulama berupaya mencari penyelesaian. Ilmunya disebut Mukhtalif al-Hadits. Menurut bahasa, ikhtilaf artinya perselisihan atau pertentangan. Pemikiran ini muncul karena para ulama menemukan realita, bahwa secara harfiyah, hadits itu bertentangan.[13]
Ilmu mukhtalif al-hadits ialah:
العلم الذي يبحث في الاحاديث التي ظاهرهامتعارض فيزيل تعارضهااويوفيق بينها كمايبحث في الاحاديث التي يشكل فهمها اوتصورهافيدفع اشكالهاويوضح حقيقتها
bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromika antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitan serta menjelaskan hakikatnya.”
Dari pengertian ini dapat difahami bahwa dengan ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan segera dapat menghilangkan pertentangan itu, antara lain dengan men-taqyid yang muthlaq dan men-takhsis yang am.[14]
Menurut para ulama, kalau dapat, kandungan hadits yang secara lahiriyah bertentangan itu disatukan, disebut dengan al-jam’u wa al-taufiq (الجمع والتوفيق).  Kalau tidak dapat, dicari kemungkiannya, yang satu menjadi qaid atau menjadi mukhasshis bagi yang lain. Dengan cara ini maka kedua hadits dapat dimanfaatkan secara proporsional. Atau juga, yang satu menjadi nasikh bagi yang lainnya. Karena itu ada yang menyebut ilmu ini dengan nama ikhtilaf al-Hadits, atau Musykil al-Hadits, atau Ta’wil al-Hadits, atau Talfiq al-Hadits. Keberadaan ilmu Mukhtalif al-Hadits jelas sangat membantu mengatasi kesulitan tadi.[15]
Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men­-takhssish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.
            Sebagai contoh adalah dua hadits shahih dibawah ini:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة....(رواه اليخارى و مسلم)
“tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah meninggal ke burung hantu….” (HR Bukhari-Muslim)
secara lahirnya bertentangan dengan hadits:
فر من المجذوم كما تفر من الاسد (رواه البخارى و مسلم)
“lahirnya dari orang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa….” (HR Bukhari dan Muslim)
Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, anatara lain:
a.       Ibnu Al-Shalah menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantara (misalnya) adanya percampuran dengan orang sakit, melalui sebab-sebab yang berbeda.
b.      Al-Qadhi Al-Baqillaini berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi keriadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat”la’adwa” itu, selain penyakit lepra dan semmisalnya. Jadi seolah-olah Rasul saw. mengatakan: “Tak ada penyakit pun yang menular selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat menular.”[16]
Ulama yang pertama kali menghimpun ilmu mukhtalif al-hadits ini adalah Imam Al-Syafi’i. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya Imam Al-Syafi’I tidak berniat untuk menyusun ilmu ini, karena penyusun tersebut pada mulanya dimaksudkan  untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang ada dalam kitab “Al-Umm”. Akan tetapi pendapat ini tidak kuat, sebab Imam Al-Syafi’I juga menyusun dalam kitab tertentu dengan nama Mukhtalif Al-Hadits yang dicetak dibagian pinggiran juz ke 7 dari kitab “Al-Umm” tersebut.[17]
  1. Ilmu Ma’na Al-Hadits
Kata Ma’ani (معانى) adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (معنى). secara leksikal kata ma’ani berarti maksud atau arti. Ahli ilmu bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Ma’ani adalah ashul-ushul dan  kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut.
علم المعاني هو أصول وقواعد يعرف بها أحوال الكلام العربي التي يكون بها مطابقا لمقتضى الحال.
علم يعلم به احوال الفظ التى بها يطابق مقتضى الحال.
علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطابق مقتضى الحال
Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Disamping itu, objek kajian ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih bersifat mufrad (berdiri sendiri) sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi faktor lain). Mengingat objek kajian ilmu ma’ani adalah kalam arabi, maka hadis pun menjadi salah satu bahan kajiannya. Jadi secara spesifik, ilmu ma’ani hadis bisa difahami ilmu yang berbicara bagaimana memahami sebuah teks hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya.[18]

Ø  Bentuk Ungkapan Hadis
Hadis-hadis Nabi memiliki bentuk ungkapan yang beragam. Hal ini, bisa dirasakan manakala mencermati bentuk ungkapan matan hadis-hadis Nabi yang begitu banyak. Syuhudi Ismail mengemukakan beberapa ragam bentuk ungkapan hadis Nabi: Jami’ kalim (ungkapan yang singkat, namun padat makna), tamsil (perumpamaan), bahasa ismbolik dan lain-lain.

1. Jawami’ Kalim
Perang itu siasat. (HR. Bukhori)  الحرب خدعة. (رواه البخارى)  
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.
2. Bahasa Tamsil

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا. (رواه بخارى)
Orang yang beriman terhadap orang beriman yang lain ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya. (HR. Bukhari)

Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tamsil tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memeperkokoh bagian lainnya. Orang-orang yang beriman seharusnya seperti itu, yakni yang satu memeperkuat yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.

3. Ungkapan Simbolik

المؤمن ياكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء. (رواه البخارى)
Orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut), sementara orang kafir makan dengan tujuh usus. (HR. Bukhari)
Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa ususnya orang yang beriman berbeda dengan ususnya orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti harus dipahami secara kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menepatkan makna sebagai dari tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan. Yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Di samping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikamt Allah, termasuk tatkala makan, sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.

4. Bahasa Percakapan
Dalam sebuah matan hadis dikemukakan:

أن رجلا سأل النبي صلعم: أي الاسلام خير؟ قال: تطعم الطعام وتقرؤ السلام على من عرفت ومن لا تعرف. (متفق عليه)

Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam yang manakah yang lebih baik?” Nabi menjawab: “Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya dan kamu menyebarkan salam kepada orang yangkamu kenal dan yang tidak kamu kenal.” (Hadis disepakati Bukhari dan Muslim)
Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu ajaran Islam yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amal yang lebih baik”, maka hadis tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadis lainnya yang memebri petunjuk tentang amal yang lebih baik, namun jawaban Nabi berbeda-beda.

5. Ungkapan Analogi
Dalam suatu matan hadis Nabi yang cukup panjang dikemukakan antara lain bahwa menyalurkan hasrat seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi ini, para sahabat bertanya: “apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab:

أرأيتم لو وضعها فى حرام أكان عليه فيها وزر؟ فكذالك اذا وضعها فى الحلال كان له أجر. (رواه مسلم)
Bagaimanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkan di jalan haram, apakah (dia) menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat pahala.
Ø  Kegunaan Ilmu Ma’ani al-Hadis
Ilmu ma’âni mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukhâthab sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat memberi manfaat sbb:
1.      Mengetahui kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan penyampaian, keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, kefasihan kalimat, dan penyatuan antara sentuhan dan qalbu.
2.      Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi’ir maupun prosanya. Dengan mempelajari ilmu ma’âni bisa dibedakan mana ungkapan yang benar dan yang tidak, yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak, dll.[19]

 III.            KESIMPULAN
Ilmu hadits memiliki cabang-cabang ilmu hadits yang lain, diantaranya:
a.       Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebgai perawi hadits. Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena sebagaimana diketahui obyek kajian hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu sanad dan rawi.
b.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Sebagaimana para ulama telah menyusun sebab-sebab nuzul-ul Qur’an, mereka juga menyusun sebab sebab wurudil hadits (asbabu wurudil Hadits) . asbabu wurudil Hadits adalah  ilmu yang menerangkan sebab turunnya hadits dan munasabah-munasabahnya.
c.       Ilmu Mukhtalif al-Hadits
ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentkhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada bebrapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut. Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya.
d.      Ilmu Ma’ani al-Hadits
Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut. Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.


DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Muhammad, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 2004.
Sohari Subari, Ulumul Hadis , Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Suparta, Munzeir, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras, 2010.
Zuhri, Muh., Hadits Nabi (Telaah Historis Dan Metodologis), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003.






[1] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Hadits, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 113
[2] Ibid. Hlm. 114
[3] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, ( Jakarta: Bulan Bintang,) hlm. 136
[4] Ibit, hlm. 136
[5] Ibit
[6] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. Cit, hlm. 115
[7] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit. hlm. 206
[8] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op. Cit, hlm. 115-116
[9] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit. hlm. 296
[10] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 331
[11] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit, hlm. 121
[12] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit. hlm. 300
[13] Muh. Zuhri, Hadits Nabi (Telaah Historis Dan Metodologis), (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 139.
[14] Sohari Subari, Ulumul Hadis ,(Bogor: Ghalia Indonesia,2010),  hlm. 75
[15]Muh. Zuhri, Op. Cit., hlm. 139
[16] Munzeir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 43
[17] Ibid., hlm. 45

0 komentar:

Posting Komentar