CABANG-CABANG ILMU HADITS
I.
PENDAHULUAN
Ilmu hadits telah tumbuh sejak zaman Rosul SAW, sejalan
dengan diwurudkannya hadits kepada para sahabatnya. Rosul juga telah menetapkan
aturan bagaimana hadits bisa diterima atau disampaikan kepada yang lain dengan
cara tertentu. Pada masa sahabat dan masa Tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini
semakin terasa karena kewafatan Rosul. Oleh karenanya diperlukan tolok ukur
untuk menguji kebenaran suatu hadits.
Diakui bahwa ilmu hadits dirayah merupakan mizan yang
harus dipergunakan untuk menghadapi ilmu hadits riwayah. Ilmu hadits dirayah
sudah dibahas oleh para ulama akan tetapi masih berserakan di beberapa kitab.
Ilmu hadits mulai dibukukan dalam kitab tersendiri sebagai ilmu pada abad ke-3
H. Buku ulum al-Hadits pada perkembangan selanjutnya telah terspesialisasi
pembahasannya. Apabila di kelompokkan cabang-cabang tersebut pada pokok-pokok
masalah maka dapat dikemukakan pertama pembahasan yang berpangkal sanad dan
rawi salah satunya ilmu Rijal al-Hadits, kedua pembahasan yang berpangkal dari matan salah
satunya Ilmu Asbab wurud al-Hadist, ketiga pembahasan yang
berpangkal dari sanad dan matan yaitu Ilmu Mukhtalif al-Hadits dan Ilmu
Ma’na Al-Hadits.
II.
PEMBAHASAN
A. Ilmu
Rijal al-Hadits
علم ينحث فيه عن
رواةالحديث من الصحابةوالتابعين ومن بعدهم
“ilmu
yang membahas para perawi hadist, baik dari sahabat, dari tabi’in maupun dari
angkatan-angkatan sesudahnya.”[1]
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi
yang menerima hadits dari Rosulullah SAW. Dan dari sahabat dan seterusnya. Di
dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas atau riwayat hidup para perawi,
mazhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu
menerima hadits.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya.
Ada yang hanya menerangakan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat, riwayat
umum, dan riwayat perawi yang lemah, atau para mudallis. Ada juga yang
menerangkan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai
untuk itu serta martabat-martabaat perkataan.[2]
Ilmu
hadits ini
melengkapi sanad dan matan dimana orang-orang
sanad itulah yang menjadi perawi-perawi hadits . maka mereka adalah
pokok pembicaraan di ilmu rilal al-Hadits. Ilmu rijal al-Hadits di bagi menjadi
dua yaitu:[3]
1.
Ilmu tarikhir ruwah
Ilmu yang membicarakan tentang
sejarah peerawi-perawi hadits. Yakni:
العلم الذى يعرف برواة الحديث من الناحيةالتى تتعلق
بروايتهم للحديث فهويتنابالبيان احوال الرواةويذكرتاريخولادةالراوىووفاته وشيوخه وتاريخ
سماعه منهم ومنروىعنه وبلادهم ومواطنهم ورحلاة الراوى وتاريخ قدومه الى البلدان
المختلفة وسماعه من بعض الشيوخ قبلل الاختلاط ام بعده وغيرذلك مماله صلة بامور
الحديث
“ilmu yang mengenalkan pada kita
perawi-perawi hadits dari segi mereka meriwayatkan hadist. Maka ilmu ini
menerangkan keadaan-keadaan perawi, hari kelahirannnya, kewafatannya,
guru-gurunya, masa dia mulai mendengar hadits dan orang-orang yang meriwayatkan
dari padanya, negerinya, tempat kediamannya, perlawatan-perlawatannya, sejarah
kedatangannya ke tempat-tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan
dengan urusan hadits.[4]
Ilmu ini lahir bersamaan dengan
lahirnya periwayatan hadits dalam Islam. Para ulama menganggap ilmu ini
penting, karena mereka bisa mengetahui keadaan-keadaan perawi tentang umur,
tempat kediaman, sejarah perawi belajar, sebagaimana para ulama menanyakan
tentang pribadi perawi agar kemustahilannya dan kemunqathi’annya, kemarfu’annya
dan kemauqufannya jelas. Karena memang sejarah adalah senjata yang ampuh untuk
melawan pendusta. Sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri:
الكذب استعملنالهم التارخالرواة لمااستعمل
“tatkala para perawi mempergunakan kedustaan, kamipun
mempergunakan sejarah”.[5]
2.
Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
Ilmu Jarh wa at-Ta’dil hakikatnya adalah suatu ilmu yang masih termasuk
bagian dari ilmu rijal al-Hadits. Karena dipandang ilmu Jarh wa at-Ta’dil ini penting maka dari itu
banyak buku yang menjelaskan ilmu ini pada bab tersendiri.
Pengertian
Jarh wa at-Ta’dil adalah :
علم ينحث فيه عن جرح الرواةةوتعديلهم بالفاظ مخصوصة وعن
مرانب تلك الالفاظ
“ilmu
yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang adil par perawi ) dengan memakai kata-kata
yang khusus tentang martabat-martabat kata-kata itu.”[6]
Ilmu ini salah satu ilmu yang terpenting dan tinggi nilainya karena
dengan ilmu ini dapat dibedakan antara
yang shahih dan yang saqim mengingat timbulnya hukum-hukum yang berbeda-beda
dari pada tingkatan Jarah dan Ta’dil ini.[7]
Mencela para perawi yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik agar
orang tidak terpedaya dengan riwayatnya telah tumbuh sejak zaman sahabat. Pada
masa itu masih sedikit orang yang dicela. Mulai abad ke.2 H barulah banyak
orang yang lemah. Pada tahun 150 H para ahli mulai membahas keadaan-keadaan
perawi, menta’dil dan mentarji’kan mereka. Setelah itu, barulah para ahli
menyusun kitab jarh dan ta’dil yang di dalamnya diterangkan keadaaan para
perawi yang diterima dan ditolak.[8]
Jadi ilmu rijal al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari
tentang perawi hadits dari mulai perawi
dilahirkan ke dunia hingga kewafatannya, tentang guru-guru yang pernah
mengajarinya dan tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, segala hal yang terkait
dengan urusan hadits. Kitabnya antara lain al-Isti’ab karya Ibnu Abdi al-Barr
(463 H), Usd al-Ghabbah kumpulan
kitab-kitab karya Izzudin (630 H).
B.
Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Sebagaimana para ulama telah menyusun sebab-sebab
nuzul-ul Qur’an, mereka juga menyusun sebab-sebab wurudil hadits (asbabu
wurudil Hadits) . Dengan demikian para ulama telah memudahkan para mustambit
mengistambitkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Jadi ilmu asbab wurud
al-Hadits adalah:
علم يعرف به
اسباب ورودالحديث ومناسباته
“ ilmu yang menerangkan sebab
turunnya hadits dan munasabah-munasabahnya.”[9]
Ilmu ini pertama kali dirintis oleh Abu Hamid bin Kaznah
al-Jubary yang kemudian diteruskan oleh Abu Hafsh Umar bin Muhammad al-Ukbury
(380-458 H). Pada dekade berikutnya muncul kitab tentang Asbab wurud al Hadits
yang ditulis oleh Ibn Hanmzah al-Husainy (1054-1120 H) dengan judul al-Bayan wa
al-ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif. [10]Dicetak
tahun 1329 H.[11]
Contoh
Hadits yang ada asbabul wurudnya
Nabi
bersabda
احدكم للصلاة
فلايبصق امامه فاء نه مناج لله تعالى مادام فى مصله ولا عن يمينه ملكا ولكن ليبصق
عن شماله اوتحت رجليهاذاقام
“apabila
salah seorang dari kamu berdiri kepada sholat maka janganlah dia meludah
kemukanya, karena dia sedang bermunajat dengan Allah, selama dia masih dalam
mushollanya dan jangan pula dia meludah ke sebelah kanannya, karena sebelah
kanannya ada malaikat tetapi hendaklah dia mmeludah kesebelah kirinya atau
kebawah kakinya.” (H.R Al Bukhari dari Abu Huraira)
Pada suatu ketika Nabi melihat dahak di dinding masjid
sebelah kiblat, maka Nabi mengikisnya. Kemudian Nabi berpaling menghadapi para
hadirin dan menyabdakan hadits ini.[12]
- Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Terkadang
kita menemukan hadits-hadits yang saling bertentangan. Kalau sebuah hadits
shahih bertentangan dengan hadits dha’if, tentu akan kita menangkan yang
shahih. Atau, hadits-hadits yang saling bertentangan. Setelah diperiksa,
ternyata salah satunya berasala dari Nabi, yang lain tidak. Maka dengan mudah
kita menyingkirkan hadits yang disebut terakhir ini. Sekarang ada hadits yang
saling bertentangan, setelah diteliti, ternyata keduanya berasal dari Nabi.
Untuk mengatasi pertentangan ini para ulama berupaya mencari penyelesaian.
Ilmunya disebut Mukhtalif al-Hadits. Menurut bahasa, ikhtilaf artinya
perselisihan atau pertentangan. Pemikiran ini muncul karena para ulama
menemukan realita, bahwa secara harfiyah, hadits itu bertentangan.[13]
Ilmu mukhtalif al-hadits ialah:
العلم
الذي يبحث في الاحاديث التي ظاهرهامتعارض فيزيل تعارضهااويوفيق بينها كمايبحث في
الاحاديث التي يشكل فهمها اوتصورهافيدفع اشكالهاويوضح حقيقتها
“bertentangan atau berlawanan, kemudian
pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromika antara keduanya,
sebagaimana membahas
hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitan
serta menjelaskan hakikatnya.”
Dari
pengertian ini dapat difahami bahwa dengan ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits
yang tampaknya bertentangan akan segera dapat menghilangkan pertentangan itu,
antara lain dengan men-taqyid yang muthlaq dan men-takhsis
yang am.[14]
Menurut para ulama, kalau dapat, kandungan hadits yang
secara lahiriyah bertentangan itu disatukan, disebut dengan al-jam’u wa
al-taufiq (الجمع
والتوفيق).
Kalau tidak
dapat, dicari kemungkiannya, yang satu menjadi qaid atau menjadi mukhasshis
bagi yang lain. Dengan cara ini maka kedua hadits dapat dimanfaatkan secara
proporsional. Atau juga, yang satu menjadi nasikh bagi yang lainnya.
Karena itu ada yang menyebut ilmu ini dengan nama ikhtilaf al-Hadits, atau
Musykil al-Hadits, atau Ta’wil al-Hadits, atau Talfiq al-Hadits. Keberadaan
ilmu Mukhtalif al-Hadits jelas sangat membantu mengatasi kesulitan tadi.[15]
Jadi ilmu
ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih
hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits
tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhssish
keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang
lebih banyak datangnya.
Sebagai
contoh adalah dua hadits shahih dibawah ini:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة....(رواه اليخارى و مسلم)
“tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah
meninggal ke burung hantu….” (HR Bukhari-Muslim)
secara lahirnya
bertentangan dengan hadits:
فر
من المجذوم كما تفر من الاسد (رواه البخارى و مسلم)
“lahirnya dari orang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari
singa….” (HR Bukhari dan Muslim)
Para
ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, anatara lain:
a.
Ibnu Al-Shalah menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak
dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan
perantara (misalnya) adanya percampuran dengan orang sakit, melalui sebab-sebab
yang berbeda.
b.
Al-Qadhi Al-Baqillaini berpendapat bahwa ketetapan
adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan
kekhususan bagi keriadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat”la’adwa”
itu, selain penyakit lepra dan semmisalnya. Jadi seolah-olah Rasul saw.
mengatakan: “Tak ada penyakit pun yang menular selain apa yang telah kami
terangkan apa saja yang dapat menular.”[16]
Ulama yang
pertama kali menghimpun ilmu mukhtalif al-hadits ini adalah Imam
Al-Syafi’i. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya Imam Al-Syafi’I tidak
berniat untuk menyusun ilmu ini, karena penyusun tersebut pada mulanya
dimaksudkan untuk menjelaskan
permasalahan-permasalahan yang ada dalam kitab “Al-Umm”. Akan tetapi pendapat ini tidak
kuat, sebab Imam Al-Syafi’I juga menyusun dalam kitab tertentu dengan nama Mukhtalif
Al-Hadits yang dicetak dibagian pinggiran juz ke 7 dari kitab “Al-Umm”
tersebut.[17]
- Ilmu Ma’na Al-Hadits
Kata
Ma’ani (معانى) adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (معنى). secara leksikal kata ma’ani berarti
maksud atau arti. Ahli ilmu bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan
melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai
gambaran dari pikiran.
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Ma’ani adalah ashul-ushul
dan kaidah-kaidah yang dengannya dapat
diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan
yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut.
علم
المعاني هو أصول وقواعد يعرف بها أحوال الكلام العربي التي يكون بها مطابقا لمقتضى
الحال.
علم يعلم به احوال الفظ التى بها يطابق مقتضى الحال.
علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطابق مقتضى الحال
علم يعلم به احوال الفظ التى بها يطابق مقتضى الحال.
علم يعرف به احوال اللفظ العربي التى بها يطابق مقتضى الحال
Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa
arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan
untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia
kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Disamping itu,
objek kajian ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang
berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu
ma’ani. Perbedaan antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih
bersifat mufrad (berdiri sendiri) sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi
(dipengaruhi faktor lain). Mengingat
objek kajian ilmu ma’ani adalah kalam arabi, maka hadis pun menjadi salah satu
bahan kajiannya. Jadi secara spesifik, ilmu ma’ani hadis bisa difahami ilmu
yang berbicara bagaimana memahami sebuah teks hadis secara tepat dengan
mempertimbangkan faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang
melingkupinya.[18]
Ø
Bentuk
Ungkapan Hadis
Hadis-hadis
Nabi memiliki bentuk ungkapan yang beragam. Hal ini, bisa dirasakan manakala
mencermati bentuk ungkapan matan hadis-hadis Nabi yang begitu banyak. Syuhudi
Ismail mengemukakan beberapa ragam bentuk ungkapan hadis Nabi: Jami’ kalim
(ungkapan yang singkat, namun padat makna), tamsil (perumpamaan), bahasa
ismbolik dan lain-lain.
1. Jawami’ Kalim
Perang itu siasat. (HR. Bukhori) الحرب خدعة. (رواه البخارى)
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan
bunyi teksnya, yakni
bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu
berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu.
Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat.
Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.
2. Bahasa Tamsil
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا. (رواه بخارى)
Orang yang beriman terhadap orang
beriman yang lain ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian
lainnya. (HR. Bukhari)
Hadis
Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman sebagai
bangunan. Tamsil tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan
tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memeperkokoh
bagian lainnya. Orang-orang yang beriman seharusnya seperti itu, yakni yang
satu memeperkuat yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling menjatuhkan.
3. Ungkapan Simbolik
المؤمن ياكل فى معى واحد والكافر يأكل فى سبعة أمعاء. (رواه البخارى)
Orang yang beriman itu makan
dengan satu usus (perut), sementara orang kafir makan dengan tujuh usus. (HR.
Bukhari)
Secara
tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa ususnya orang yang beriman berbeda
dengan ususnya orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan
anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian,
pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti harus dipahami
secara kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menepatkan makna sebagai dari tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan. Yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Di samping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikamt Allah, termasuk tatkala makan, sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.
4. Bahasa Percakapan
Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menepatkan makna sebagai dari tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan. Yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Di samping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikamt Allah, termasuk tatkala makan, sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.
4. Bahasa Percakapan
Dalam
sebuah matan hadis dikemukakan:
أن رجلا سأل النبي صلعم: أي الاسلام خير؟ قال: تطعم الطعام وتقرؤ السلام على من عرفت ومن لا تعرف. (متفق عليه)
Ada
seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam yang manakah yang lebih
baik?” Nabi menjawab: “Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya dan kamu
menyebarkan salam kepada orang yangkamu kenal dan yang tidak kamu kenal.”
(Hadis disepakati Bukhari dan Muslim)
Memberi
makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu ajaran
Islam yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amal yang lebih baik”,
maka hadis tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa
matan hadis lainnya yang memebri petunjuk tentang amal yang lebih baik, namun
jawaban Nabi berbeda-beda.
5. Ungkapan Analogi
5. Ungkapan Analogi
Dalam
suatu matan hadis Nabi yang cukup panjang dikemukakan antara lain bahwa
menyalurkan hasrat seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah. Atas
pernyataan Nabi ini, para sahabat bertanya: “apakah menyalurkan hasrat seksual
kami (kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab:
أرأيتم لو وضعها فى حرام أكان عليه فيها وزر؟ فكذالك اذا وضعها فى الحلال كان له أجر. (رواه مسلم)
Bagaimanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkan di jalan haram, apakah (dia) menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat pahala.
Ø Kegunaan
Ilmu Ma’ani al-Hadis
Ilmu
ma’âni mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab
dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa
menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukhâthab sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat memberi manfaat
sbb:
1.
Mengetahui
kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan penyampaian, keindahan deskripsinya,
pemilihan diksi, kefasihan kalimat, dan penyatuan antara sentuhan dan qalbu.
2.
Menguasai
rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi’ir maupun
prosanya. Dengan
mempelajari ilmu ma’âni bisa dibedakan mana ungkapan yang benar dan yang tidak,
yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak, dll.[19]
III.
KESIMPULAN
Ilmu
hadits memiliki cabang-cabang ilmu hadits yang lain, diantaranya:
a. Ilmu
Rijal al-Hadits
Ilmu untuk mengetahui
para perawi hadits dalam kapasitasnya sebgai perawi hadits. Ilmu ini sangat
penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena sebagaimana
diketahui obyek kajian hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu sanad
dan rawi.
b. Ilmu
Asbab Wurud al-Hadits
Sebagaimana para ulama telah
menyusun sebab-sebab nuzul-ul Qur’an, mereka juga menyusun sebab sebab wurudil
hadits (asbabu wurudil Hadits) . asbabu wurudil Hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab turunnya hadits
dan munasabah-munasabahnya.
c. Ilmu
Mukhtalif al-Hadits
ilmu yang membahas
hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya
kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau
mentkhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada bebrapa kejadian yang
relevan dengan hadits tersebut. Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua
atau lebih hadits yang bertentangan maknanya.
d. Ilmu
Ma’ani al-Hadits
Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut. Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.
Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks tersebut. Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad,
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009.
Muhammad,
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta:
Bulan Bintang, 2004.
Sohari
Subari, Ulumul Hadis , Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.
Suparta, Munzeir, Ilmu
Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadits,
Yogyakarta: Teras, 2010.
Zuhri, Muh.,
Hadits Nabi (Telaah Historis Dan Metodologis), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003.
[1] Teungku Muhammad
Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Hadits, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), hlm. 113
[13] Muh. Zuhri, Hadits Nabi (Telaah Historis Dan Metodologis),
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 139.
[14] Sohari Subari, Ulumul Hadis ,(Bogor: Ghalia Indonesia,2010), hlm. 75
[15]Muh. Zuhri, Op. Cit., hlm. 139
[16] Munzeir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008), hlm. 43
[17] Ibid., hlm. 45
[19] http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/06/ilmu-maani-al-hadis.html:
10 desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar